Pemimpin Muda

Pemimpin Muda

KAMMI, Realitas, idealisme, dan fleksibilitas

on Selasa, 12 Mei 2009

(disampaikan sebagai pemantik diskusi Lokus Kader Siyasi KAMMI Kom. Sholahudin Al Ayyubi, Masjid Nurul Amal, 11 Februari 2009)

KAMMI sebagai sebuah realitas, setidaknya bisa dilihat dari tiga aspek; KAMMI sebagai realitas sejarah, KAMMI sebagai realitas ideology, dan KAMMI sebagai realitas gerakan.

Pertama, KAMMI sebagai realitas sejarah. Keberadaannya di tengah-tengah kehidupan adalah sebuah keniscayaan dan kebutuhan sejarah. Tepatnya tanggal 29 Maret 1998, bangsa ini mengabadikan sebuah peristiwa besar dalam catatan sejarahnya. Anak-anak muda dengan semangat perubahan dan didasari orientasi yang lurus mengkonsolidasikan dirinya dalam sebuah wadah perjuangan permanent, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).


Di awal berdirinya banyak pengamat bertanya-tanya, “Bagaimana bisa gerakan mahasiswa yang baru berdiri satu bulan mampu mengkonsolidasikan 20.000 massa dalam aksi reformasi?”. Maka tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa kelahiran KAMMI adalah manifestasi perubahan, baik dalam konteks perbaikan negara, masyarakat, bahkan lebih dari itu menuju Islam rahmatan lil ’alamin.

Kelahirannya bukanlah sebuah euphoria semata. Bukan pula sekedar antitesis dari ’kejahiliahan’ bangsa. Lebih dari itu kelahirannya memiliki orientasi pembebasan peradaban atau lebih spesifik perbaikan negara dan masyarakat di segala levelnya. Meskipun tidak dipungkiri, bahwa situasi social politik saat itu menjadi katalisator dalam kristalisasi bentuk gerakan.

Situasi seperti apa yang dimaksud?. Setidaknya ada dua, hegemoni orde baru serta titik temu antara masjid dan kampus.

Hegemoni, meminjam istilah Antonio Gramsci, seorang marxis Italia, mengatakan bahwa proses hegemoni terjadi apabila cara hidup, cara berfikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah terutama kaum proletariat telah meniru dan menerima cara berfikir dan gaya hidup dari kelompok elite yang mendominasi dan mengakses mereka. Dengan kata lain, jika ideologi dari golongan yang mendominasi telah diambil alih secara sukarela oleh yang didominasi (Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, 1999).

Hegemoni orde baru yang demikian mencengkeram, cenderung mengebiri kehidupan politik dan mengkondisikan mahasiswa tidak memiliki saluran politik. Saluran politik yang dimaksud bukanlah saluran mobilitas vertikal di gedung parlemen, tapi lebih ke arah gerakan ekstra parlementer.

Keadaan yang hegemonik itu memaksa mahasiswa membuat alternatif gerakan. Karena, meskipun orde baru mampu menghegemoni, tetap saja tidak bisa ’mengendalikan’ mahasiswa secara de facto. Lahirlah reformasi yang dibidani oleh mahasiswa.

Di sisi lain, Gerakan Bawah Tanah (GBT) telah dimulai jauh-jauh hari meskipun selalu berubah-ubah bentuk. Hingga muncul istilah OTB atau Organisasi tanpa Bentuk. Aksi mendukung ’jilbabisasi’ dan aksi menolak SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) di awal tahun 90an menunjukkan eksistensi gerakan ini. Bukan sekedar eksis secara jumlah tapi juga eksis secara ideologi.

Ideologi yang lahir dari dua pusat peradaban besar, Masjid dan Kampus. Maka momentum sejarah dan kematangan internal gerakan bertemu yang kemudian melahirkan KAMMI.

Kedua, KAMMI sebagai realitas ideologi. Gerakan yang dilakukan KAMMI bukan sekedar gerakan oposisi konstruktif temporer, responsif atau reaksioner. KAMMI juga melakukan gerakan oposisi konstruktif ideologis. Semua aktivitasnya didasarkan dan disandarkan pada konstruksi ideologi yang utuh. KAMMI memiliki solusi tawar dalam bentuk narasi kebangsaan yang komprehensif.

Bangunan ideologi KAMMI tertuang dalam manhaj filosofi gerakan KAMMI.

Mengutip dari tulisan Akh Amin Sudarsono, Ketua Departemen Kajian Strategis KAMMI Daerah Istimewa Yogyakarta 2004-2006, Suatu ideologi untuk dapat terus bertahan ditengah tuntutan aspirasi masyarakat dan perkembangan modernitas dunia, setidaknya harus memiliki tiga dimensi: realita, idealisme dan fleksibilitas. Ditinjau dari dimensi realitas, ideologi itu mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya bersumber dari nilai-nilai yang riil hidup di dalam masyarakat, terutama waktu ideologi tersebut lahir, sehingga mereka betul-betul merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu adalah milik mereka bersama. Dilihat dari segi idealisme, suatu ideologi perlu mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan terakhir dimensi fleksibilitas, artinya perlu ada perkembangan dari ideologi itu untuk mengikuti perkembangan pemikiran baru tanpa kehilangan nilai dasar atau hakikat dari ideologi tersebut. Dimensi fleksibilitas ini hanya mungkin dimiliki secara wajar dan sehat oleh suatu ideologi yang terbuka dan demokratis.

Dalam konteks ini bangunan ideologi KAMMI memiliki ketiga dimensi tersebut. Realistis, idealis, sekaligus fleksibel. Realistis, karena ia bersumber langsung dari dinul Islam, yang telah mengakar lama dalam masyarakat Indonesia. Idealis, karena ia mempunyai orientasi yang jelas dan ideal. Fleksibel, karena ia bukanlah sebuah harga mati. Generasi-generasi muda seperti kita cenderung punya tafsir yang progresif terhadap realita dan idealita. Atau dalam bahasa Syekh Yusuf Qordhowi bahwa pembumian Islam dari ranah idealita ke ranah realita di era modern harus memperhatikan tiga konsepsi pemahaman: fiqhul waqi’i (pemahaman atas realitas), fiqhul aulawiyat (pemahaman atas prioritas kebutuhan) dan fiqhul muwazanat (pemahaman atas perkembangan zaman).
seharusnya bersambung...

Baca Lengkap aja......

Student Government Sebagai Pilihan Gerakan

on Minggu, 10 Mei 2009

Disampaikan dalam Pelantikan Pengurus Partai Gerbang. Masjid Nurul Huda UNS, 20 Maret 2009. Referensi : makalah Student goverment, konsep, fungsi, peranIdan Urgensi Berpolitik di Kampus,Amin Sudarsono, Presiden Partai PAS 2001-2003, Ketua Departemen Kajian Strategis KAMMI DIY 2004-2006


“Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah “the happy selected few” yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya.”
(Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran)

Mengapa kita berpolitik di kampus? mengapa harus ada BEM dan Partai Mahasiswa? Mengapa kita harus berebut kekuasaan di kampus, apa hubungannya dengan dakwah? Bukankah dakwah cukup hanya dengan LDK (Lembaga Dakwah Kampus)? bukankah gerakan mahasiswa eksternal (KAMMI, HMI, PMII, dll. ...) sudah cukup untuk menjalankan peran sebagai oposisi pemerintah dan penddikan politik masyarakat? Lebih sederhana lagi, mengapa harus ada Partai Gerbang? Bukankah itu justru merepotkan kita karena harus mengalokasikan ’energi’ yang sebenarnya sudah cukup terkuras oleh amanah-amanah yang lain? Padahal banyak mahasiswa yang apatis terhadap politik kampus, terbukti dari tingkat partisipasi pemilih yang rendah dalam Pemilu Raya Mahasiswa.


Itu adalah sebagian kecil dari beragam pertanyaan yang seharusnya dijawab oleh kita para penggerak politik kampus. Aktivitas yang kita lakukan sudah selayaknya didasari dengan pemahaman atau setidaknya dengan pemaknaan (keterlibatan emosi). Tentu akan lebih baik jika keduanya ada.

Perlu ada pembacaan yang utuh dari realitas ’ke-kampusan’ kita serta penafsiran yang sahih terhadap manhaj gerakan.

Tentu kita sangat mafhum, mahasiswa dengan paradigma intelektualitasnya memiliki peran yang strategis dalam melakukan perubahan dalam segala dimensi. Kemurnian gerakannya terletak pada integritas moral. Gerakan mahasiswa memiliki posisi tawar yang sejajar dengan kekuatan politik apapun. Maka sudah selayaknya mahasiswa baik secara personal maupun secara kolektif memiliki peran yang signifikan dalam peradaban sebuah bangsa. Selayaknya pula sejarah selalu dicatat dari mahasiswa sebagai titik awalnya.

Dari sinilah, kita mengenal yang namanya gerakan mahasiswa. Ia adalah gerakan moral, gerakan politik, sekaligus gerakan sosial, yang dibingkai dengan intelektualitas. Ia adalah gerakan ide. Ide yang bergerak, bukan sekedar mobilitas atau perpindahan tempat secara fisik. Kalaupun ada gerakan fisik, tidak lain adalah transformasi dari ide-ide genuine mahasiswa itu sendiri dan selalu berorientasi pada perubahan.

Menilik pada sejarah, gerakan mahasiswa selalu mempunyai peran strategis, kontributif terhadap perubahan dan mampu untuk mengkonsolidasikan kekuatan di luar dirinya.

Dari sejarah pula kita lihat catatan kelam bagaimana pemerintah berupaya memberangus dan mencengkeramkan hegemoninya di tubuh gerakan mahasiswa. Doed Yoesoef—menteri P dan K saat itu—mendepolitisi kehidupan kampus lewat NKK/BKK pada 1978. Melalui NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus), kehidupan kampus hanya dibatasi pada kegiatan-kegiatan akademik, minat bakat, kerohanian, dan penalaran. Aktivitas-aktivitasnya jauh dari permasalahan riil yang terjadi di masyarakat. Sedikit ’bergerak’ akan dituduh terlibat politik praktis dan jauh dari kerangka ilmiah.

Setelah pembubaran Dema (Dewan Mahasiswa) tahun 1998 peranan gerakan intra kampus digantikan oleh BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Dari sinilah student goverment menjadi wacana berikutnya dalam pelembagakan gerakan mahasiswa.

Sekarang, PP No. 61 tahun 1999, tentang Otonomi Kampus telah dikeluarkan. Meskipun berbeda dengan NKK/BKK, tapi kita masih melihat spirit yang sama. Kehidupan kampus di-’normal’-kan, dengan menjauhkan mahasiswa dari permasalahan riil masyarakat. Para mahasiswa diarahkan menjadi ’insan akademis’ yang hanya mementingkan nilai dan berlomba lulus secara instan. Sementara gerakan mahasiswa dituduh terlibat politik praktis.

Dalam kondisi seperti ini, student goverment diharapkan mampu menjadi solusi tawar. Student goverment diartikan sebagai pemerintahan mahasiswa yang tidak lain adalah pelembagaan gerakan mahasiswa atau gerakan mahasiswa yang dilembagakan.

Karena ia adalah penjelmaan dari gerakan mahasiswa, maka student goverment setidaknya memiliki lima prinsip dasar. Moralitas, intelektualitas, politis, independen, dan posisi tawar yang sejajar.

Moralitas berkaitan dengan status mahasiswa sebagai kaum terdidik. Intelektualitas menginginkan peran mahasiswa dengan basis keilmuannya mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan masyarakat. Politis bukan berarti berorientasi pada politik praktis. Tapi lebih diarahkan pada politik ’ekstra parlementer’ dengan menjadi oposisi konstruktif dan melakukan pendidikan politik masyarakat.

Independen berarti gerakan mahasiswa atau student goverment harus memiliki afiliasi bukan kepada kelompok tertentu terutama di luar mahasiswa, tapi kepada nilai-nilai universal dan ide genuine dari mahasiswa itu sendiri. Sejajar artinya gerakan mahasiswa memiliki posisi tawar yang sejajar dengan kekuatan politik manapun.

Kalau memang student goverment mampu menjadi solusi, lalu seperti apa format student goverment yang ideal?. Setidaknya ada tiga tawaran bentuk student goverment yang bisa diterapkan. Pertama, student goverment dengan mengambil alih kekuasaan negara. Kedua, student goverment yang diberi ruang untuk ikut menentukan kebijakan meskipun hanya sebagian dengan masuk sistem negara. Ketiga, student goverment sebagai wadah gerakan mahasiswa engan mengambil bentuk sama atau hampir sama dengan negara.

Dalam konteks Indonesia yang ke-tiga inilah yang diambil paskareformasi. Maka jangan heran, kalau ada partai politik di kampus. Ia hanyalah salah satu bagian dari sistem pemerintahan mahasiswa. Bagaimana gerakan dakwah mengambil peran? Di sinilah, seharusnya kita mampu melakukan penafsiran yang sahih dari manhaj gerakan dakwah itu sendiri.

Baca Lengkap aja......

Inner Beauty

on Sabtu, 28 Februari 2009

Resensi Buku, Inner Beauty Sebagai Produk Ibadah Kepada Allah SWT
Karya : Durrah Baraja

Sebuah buku yang unik. Mengangkat tema yang sederhana tapi dengan pembahasan yang mendalam dan dengan pendekatan yang tidak seperti biasa. Sederhana, karena tema yang diangkat adalah tema keseharian yaitu kecantikan. Tetapi tentunya perlu proses yang sedikit rumit untuk mengetengahkan tema ini dengan pendekatan ‘nalar akal’ dan ‘nalar wahyu’ sekaligus.


Selain mengajak kita untuk berpikir secara logis buku ini juga mengajak kita ‘berpikir’ dengan menggunakan nalar wahyu (Al-qur’an dan sunah). Maka tidak heran kalau banyak cuplikan ayat-ayat al-qur’an dan sketsa-sketsa kehidupan yang diambil dari syiroh, bahkan ini lebih mendominasi.

Metode ini mengandung kelebihan sekaligus menyimpan potensi kekurangan. Kelebihannya akan terjadi keseimbangan dalam cara pandang, lebih komprehensif. Tapi ini juga berarti kekurang fokusan paradigma.

Dua hal tersebut saya dapati dalam buku ini. Perpaduan antara logika ilmiah dan logika Al-quran terasa kurang komprehensif. Lebih didominasi oleh pendekatan wahyu. Sementara pendekatan wahyu atau Al-Quran dan Sunnah yang digunakan tersebut juga terasa kurang begitu tajam. Ayat-ayat Al-Quran yang digunakan baru sebatas dalil pendukung, belum menjadi sebuah alur logika yang tertaut dari awal sampai akhir.
Namun ini tidaklah mengurangi kualitas isi dari buku. Karena kekuatan isi buku ini salah satunya terletak pada gaya penuturan yang mengalir. Gaya ini mampu membawa pembaca memahami isi dengan bahasa yang sederhana sehingga menjadi lebih mudah dipahami.

Ini berikutnya. Gaya penuturan yang mengalir memang melenakan dan mampu membawa pembaca lebih menikmati isi. Tapi perlu dicermati pula bahwa gaya ini juga bisa melenakan penulis. Memungkinkan penulis terbiaskan dari fokus tema awal. Kadang pembicaraan terasa meloncat-loncat, atau karena saya yang kurang bisa memahami dengan yang dimaksudkan.

Dengan gaya ini pula pemilihan kata dan kecermatan ejaan harus diperhatikan secara lebih ekstra.

Mengenai pemilihan judul. Judul Inner Beauty, Sebagai Produk Ibadah Kepada Allah SWT, terdiri dari dua klausa. Inner Beauty klausa pertama yang merupakan kata benda dan Sebagai Produk Ibadah Kepada Allah klausa kedua yang merupakan kata kerja.

Entah bagaimana penjelasannya. Tapi judul ini terasa kurang harmoni antara klausa pertama dan klausa kedua. Coba diganti misalnya dengan Mempercantik Inner Beauty Merupakan Bentuk Ibadah Kepada Allah SWT. Atau dengan kalimat yang lebih simpel, Inner Beauty Sebagai Produk Ibadah, bisa juga Mempercantik Inner Beauty Merupakan Ibadah. Wallahu a’lam karena pemilihan judul ini hanyalah masalah selera yang setiap orang pastilah berbeda.

Inner beauty, adalah istilah yang sering dimunculkan untuk menggambarkan kecantikan akhlak, keanggunan tingkah laku, kecantikan dari dalam, atau saya lebih suka menyebutnya dengan kecantikan jiwa. Namun dalam buku ini Inner beauty mempunyai pengertian yang lebih dari itu. Penulis mencoba mendasarkan dan mensandarkan penjelajahan rasionalitas dengan nilai-nilai ilahiah. Atau seperti yang telah saya uraikan di depan mencoba mempertemukan antara nalar akal dengan nalar wahyu.

Di sini inner beauty tidak sekedar kecantikan jiwa, tapi juga kecantikan keimanan yang berdampak pada kecantikan jiwa. Inner beauty adalah perpaduan antara fitrah jiwa manusia yang mempunyai kecenderungan pada kecantikan dengan dorongan keimanan atau dorongan keyakinan terhadap ajaran Islam.

Namun konsep ini sepertinya kurang tercakup dalam klausa inner beauty. Klausa inner beauty sendiri masih multi tafsir. Khawatirnya inner beauty lebih terkesan sekedar kecantikan akhlak tanpa dilandasi spirit keimanan. Jangan sampai dengan menggunakan klausa inner beauty malah terjebak dengan pengertian sekuler seperti itu.

Berikutnya adalah telaah kritis mengenai hal-hal teknis. Buku ini diawali dengan beberapa kisah tentang seseorang yang memiliki inner beauty. Sebenrnya ini sudah tepat. Dengan mengajak pembaca untuk mulai memahami ruang lingklup pembicaraan tentang inner beauty.

Tapi ini masih kurang. Pada bagian awal belum cukup untuk membuat pembaca memahami tentang substansi yang akan dibicarakan pada buku ini. Pengertian Inner Beauty baru didapati pada BAB III halaman 115. Meskipun, kekurangan ini sedikit tertutupi dengan beberapa pengantar yang ditulis oleh tokoh yang diletakkan di halaman awal.
Pengantar ini mampu sedikit mengkondisikan pembaca tentang Inner Beauty
Kemudian ada beberapa halaman yang kosong tidak termanfaatkan. Misal halaman 292, yang sebenarnya ruang kosong itu tidak dibutuhkan.

Selanjutnya tentang pemilihan kata. Seperti pernah saya singgung bahwa gaya mengalir akan dapat melenakan penulis. Seperti halaman 45 paragraf pertama. Di sana digunakan kata ganti orang pertama tunggal dengan penyebutan yang berbeda, ada “aku” dan “saya”. Tentu ini menambah ketidak nyamanan pembaca.

Terlepas dari itu semua yang jelas buku ini luar biasa. Banyak data dan informasi baru yang saya dapatkan dari buku ini.

Baca Lengkap aja......